Pemulangan Simpatisan ISIS Kini Jadi Dilema Pemerintah

Nasional245 Views

oleh Stanislaus Riyanta

 

ISIS akhirnya kalah dari Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Kondisi ini membuat ISIS semakin tertekan dan tercerai berai. Nasib simpatisan dan kombatan ISIS yang berasal dari banyak negara tidak menentu dan memprihatinkan. Kelompok laki-laki dari ISIS ditahan dan akan diadili di wilayah Otoritas Kurdistan Suriah. Sementara perempuan dan anak-anak menjadi pengungsi yang tersebar di kamp pengungsi di Al-Hawl, Ain Issa, Al-Roj, dan Newroz.

Sebagian dari para simpatisan dan kombatan ISIS tersebut berasal dari Indonesia. The Soufan Center pada Oktober 2017 menyatakan bahwa ada 600 WNI yang telah bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah, yang terdiri dari 113 wanita dan 100 anak-anak, sisanya adalah pria dewasa. Soufan Center menyebutkan bahwa sudah ada 50 orang kembali ke Indonesia dan 384 masih bertahan, sisanya tidak diketahui (Maret 2017). 

BNPT (TEMPO 23/6/2019) memperkirakan pada 2017 ada 1.321 WNI bergabung dengan ISIS. Rinciannya adalah 594 orang terdeteksi berada di Suriah dan Irak, dengan 84 orang diantaranya dinyatakan tewas, 482 WNI dideportasi saat hendak memasuki Suriah, 62 orang kembali dari Suriah dan 63 orang digagalkan keberangkatannya dari bandara di Indonesia. 

Merujuk dari data di atas maka diperkirakan saat ini ada ratusan WNI yang terkatung-katung nasibnya di Suriah. Kepala BNPT Suhardi Alius (TEMPO 13/6/2019) menyebutkan bahwa menurut data intelijen terdapat 500 WNI yang masih di Suriah, namun hanya 200 orang yang berada di kamp-kamp pengungsian. Sebagian besar lainnya sudah keluar lewat Iran menuju Pakistan lalu masuk ke Afganistan. Kelompok ini tidak mau pulang karena memang sudah mempunyai paham radikal yang sangat kuat.

Simpatisan dan kombatan ISIS yang berasal dari Indonesia yang berada di Suriah tersebut dalam situasi yang tidak pasti. Kelompok laki-laki akan menghadapi proses peradilan sementara perempuan dan anak-anaknya masih di pengungsian sambil berharap pemerintah Indonesia mau menjemput untuk dibawa kembali ke tanah air.

Kepergian WNI untuk menjadi simpatisan dan kombatan ISIS di Suriah sudah merupakan masalah tersendiri. ISIS sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Pergi meninggalkan tanah air untuk bergabung dengan organisasi yang dilarang oleh pemerintah adalah suatu upaya melawan hukum. Selain itu sebagian besar dari WNI yang bergabung dengan ISIS ini telah membakar paspor atau identitasnya yang dapat dinilai sebagai bentuk menentang pemerintah Indonesia. Alhasil nasib mereka sekarang di Suriah, selain akan menghadapi proses peradilan dan terkatung-katung di pengungsian, adalah tanpa kewarganegaraan.

WNI yang telah bergabung dengan ISIS tentu mempunyai paham radikal dan berlawanan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Membawa mereka kembali dengan alasan kemanusiaan akan berhadapan dengan risiko kemungkinan mereka menjadi penyebar paham radikal. Keinginan mereka untuk kembali ke Indonesia juga dapat dinilai sebagai strategi bertahan sambil menunggu momentu atau situasi yang tepat untuk kembali lagi ke wilayah yang sesuai dengan ideologi atau paham yang dianutnya. 

Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah jika ternyata harus menjemput dan menerima kembali para pengungsi tersebut ke tanah air? Untuk kelompok laki-laki tentu tidak mudah karena mereka akan menghadapi proses peradilan, namun Otoritas Kurdistan Suriah melalui Ketua Komisi Luar Negeri Hussein Abri Dongoran yang diwawancarai wartawan TEMPO menyebutkan bahwa siap menyerahkan para pengungsi dari Indonesia jika pemerintah Indonesia berkomunikasi dengan mereka. 

Sebelum mengembalikan para pengungsi ini ke tanah air maka pemerintah sebaiknya melakukan asemen terhadap derajat paham radikal yang mereka miliki. Para pengungsi ini perlu dikelompokkan dan diperlakukan sesuai dengan tingkat pemahaman radikalnya. Selain itu isolasi perlu dilakukan sambil dilakukan proses deradikalisasi hingga mereka benar-benar tidak radikal lagi. Tidak lupa pemerintah juga melakukan proses hukum bagi mereka yang terbukti melakukan pelanggaran hukum mengingat mereka ke Suriah adalah untuk bergabung dengan organisasi yang sudah dinyatakan terlarang oleh pemerintah Indonesia.

Jika asesmen, proses hukum dan deradikalisasi sudah dilakukan, maka langkah yang sangat penting berikutnya adalah menyiapkan tempat bagi mereka untuk kembali hidup di masyarakat. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk menerima dan mengawasi eks pengungsi ISIS ini agar bisa hidup dengan wajar di masyarakat tanpa menjadi pengaruh atau menyebarkan paham radikal. 

Peran masyarakat untuk untuk menerima kembali eks pengungsi ISIS juga sangat penting, kerena jika para pengungsi ini tidak mempunyai tempat maka mereka akan hidup tertutup dan ekslusif dan cenderung hanya akan bersama dengan kelompoknya atau dengan orang lain yang mempunyai pemikiran yang sama. Jika ini yang terjadi maka potensi mereka menjadi radikal lagi bahkan meningkat menjadi pelaku aksi teror cukup besar.

Paham radikal tidak membatasi jenis kelamin, kaum perempuan dengan paham radikal juga cukup berbahaya jika sudah menemukan kesempatan dan momentum untuk melakukan aksi teror atau kekerasan. Beberapa kasus teror atau kekerasan yang dilakukan oleh perempuan dengan paham radikal antara lain percobaan bom panci di sekitar Istana, aksi bom bunuh diri di Surabaya, aksi bom bunuh diri di Sibolga, menunjukkan bahwa perempuan dengan paham radikal juga cukup berbahaya. Militansi mereka tidak kalah dengan kaum laki-laki.

Penanganan pengungsi ISIS yang berasal dari Indonesia adalah dilema bagi pemerintah Indonesia. Membiarkan mereka berada di pengungsian, terutama untuk perempuan dan anak-anak akan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, sementara jika menjemput dan menerima mereka kembali ke tanah air akan berhadapan dengan risiko penyebaran paham radikal menambah sel-sel kelompok radikal di Indonesia.

Apapun yang akan ditempuh, pemerintah tetap perlu menyiapkan sebuah mekanisme untuk menangani para pengungsi tersebut mulai dari asesmen derajat radikal, proses hukum, deradikalisasi hingga mengembalikan dan mengawasi hidupnya di masyarakat. Hal ini harus dilakukan secara bersamaan dengan membangun benteng di masyarakat agar mempunyai daya tangkal yang kuat dari masuknya paham radikal. 

 

*) Stanislaus Riyanta, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia