Terorisme Masih Tak Tertumpas, Jalan Buntu Atau Ada Kesalahan?

Nasional285 Views

Jujur Menanggulangi Terorisme

Oleh: Abdul Ghopur

 

Sudah sekian tahun belakangan ini kita ramai membicarakan radikalisme dan ekstrimisme yang berujung pada tindakan terorisme, yang tak kunjung menemukan jawaban penyelesaiannya. Tetapi, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kata dan makna radikalisme, ekstrimisme dan terorisme itu? Sampai saat ini belum ada kesimpulan yang jelas, atau setidaknya sama dan sebangun tentang kata dan makna radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. 

Selama ini radikalisme atau fundamentalisme, ekstrimisme dan terorisme selalu dikaitkan atau diidentikkan dengan paham atau ajaran agama tertentu. Dalam konteks Indonesia, radikalisme, ektrimisme dan terorisme hampir melulu dikait-kaitkan dengan “ajaran Islam.” Karena melihat pelaku tindakan terorisme (kebetulan) beragama Islam (ber-KTP agama Islam). Pertanyaannya, bijak dan tepatkah tuduhan tindakan terorisme itu dialamatkan pada agama tertentu? Tidakkah ada konspirasi global atas diskursus radikalisme, ektrimisme dan terorisme ikut memengaruhinya? 

Saya kira, selaiknya kita perlu jujur dan terbuka pikiran dan hati dalam membedah diskursus ini. Dalam pengertian yang sederhana, menurut para pakar dan analis, mereka yang berani melawan Amerika dan dunia Barat umumnya, di-cap fundamentalis, radikalis, ekstrimis dan teroris. Tetapi, siapakah radikalis sesungguhnya? Radikalisme atau fundamentalisme kerap dimaknai sebagai perilaku keagamaan berdasarkan normative approach (penghayatan normatif) yang skriptural (berdasar teks semata) tanpa melihat persoalan-persoalan substansial lainnya (misal: sejarah, peradaban, iptek). Perilaku normative approach ini kemudian melahirkan sibling rivalry yaitu permusuhan antar saudara kandung (maksudnya, Abrahamic Religions—Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan mengedepankan sikap truth claim, merasa paling benar dengan menyalah-menyesatkan agama dan pemeluk atau penganut kepercayaan lainnya.

Pada kasus tertentu, mungkin saja pendapat demikian mendapatkan pembenarannya (justifikasi), sebab sekali lagi, kebetulan pelaku terorisme ber-KTP agama Islam. Tetapi, pertanyaannya kemudian, apakah layak predikat teroris dialamatkan pada ajaran suatu agama tertentu? Apakah yang radikalis, fundamentalis dan ekstrimis hanya berasal serta dapat dialamatkan pada ajaran agama? Bukankah ada pikiran-pikiran dan tindakan yang radikalis, fundamentalis, ekstrimis bahkan “teroris” dari ideologi lain selain agama? Para penganut madzhab ekonomi pasar (kapitalis) misalnya, atau para penganut madzhab neoliberalisme yang berujung pada neokapitalisme dan imperialisme (Nekolim) yang memusuhi ekonomi kerakyatan atau Pancasila misalnya? Mereka kerap melakukan pendekatan ekonomi pasar berbasis kapitalisme yang menyengsarakan rakyat banyak. Sehingga, banyak terjadi ketimpangan ekonomi, sosial, politik dan sebagainya bahkan banyak menyebabkan kematian akibat kemiskinan dan kelaparan global.

Jadi, mengalamatkan istilah fundamentalisme/radikalisme, ekstrimisme dan terorisme tidaklah tepat bahkan keliru kalau hanya dialamatkan pada ajaran agama tertentu akibat melihat perilaku seseorang yang memiliki penghayatan normatif dalam beragama. Sementara di luar sana banyak para penghayat ekonomi liberalisme yang bertindak radikal dan ekstrim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengakibatkan banyak kesengsaraan dunia.

Dari fenomena tersebut pertanyaannya efektifkah perlawanan atas nama Tuhan dan atas nama agama? Manusiawikah memberangus fundamentalisme-terorisme berbasis “agama” dengan fundamentalisme-terorisme berbasis ekonomi bahkan demokrasi? Tentu saja fundamentalisme-terorisme berbasis “agama” dan hegemoni kapitalisme Amerika dan sekutunya bahkan kekuatan ekonomi dunia baru (New Emerging Force) seperti Republik Rakyat Tiongkok merupakan dua kutub antagonistis yang berseberangan. Sebab, fundamentalisme-terorisme berbasis “agama” harus dikecam (ditinggalkan), fundamentalisme-terorisme berbasis ekonomi dan demokrasi—yang didesain sehingga melahirkan perlawanan dan kekejaman yang sama—juga harus dikutuk ramai-ramai.

Inilah sebuah zaman yang menandakan lahirnya kekuatan fundamentalisme berbasis penghayatan normatif agama guna melawan neo-kapitalisme yang digerakkan oleh dunia Barat dan sekutunya serta New Emerging Force lainnya. Sehingga, melahirkan perlawanan di mana-mana dengan tesis “Atas Nama Iman, Atas Nama Teks” dan “Berperang Demi Tuhan, Berperang Demi Agama” yang menggejala dan menjadi potret mutakhir hari-hari kita menyaksikan bom dan ancaman terorisme tak berkesudahan di Indonesia bahkan dunia.

Kesimpulannya bahwa kehidupan kita akan jauh lebih buruk, hubungan antar agama akan menurun drastis dan sampai titik nadir sebab terorisme-fundamentalisme atas nama ekonomi dan demokrasi dan atas nama agama akan (selalu) menjadi arus besar di masa depan. Konflik-konflik dan persaingan antar dua kekuatan besar tersebut akan selalu laten dan mengemuka. Terutama sekali bila para pemimpin, ilmuwan dan elit masyarakat terjebak pada nafsu untuk berkuasa dengan mengesampingkan moral kemanusiaan universal.

Sebab, ada kecenderungan bahwa kita belum jujur dalam menanggulangi radikalisme/fundamentalisme, ekstrimisme dan terorisme serta nyaris tak menyentuh akar persoalan (hanya penanggulangan pada hilirnya saja). Kita belum memiliki pemetaan yang jelas dan jangka panjang terhadap masalah ini seperti misalnya: pemahaman agama yang keliru (tidak memahami tarikh/asbabunnuzul), faktor himpitan ekonomi, kurangnya pemahaman sejarah nasional dan Pancasila, minimnya pengetahuan budaya nasional, gambaran/pandangan dunia yang berbeda/sempit dari para penghayat normatif keagamaan, pandangan tentang teraniayanya umat muslim di dunia, gambaran kejayaan Islam di masa Nabi dan para sahabat, radikalisme ekonomi dan ideologi lain (liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme/Nekolim dan komunisme-atheisme), perilaku elit yang tak mencerminkan sikap Pancasila sama sekali dan faktor kesempatan berkarya atau aktualisasi diri kaum terdidik yang tak tersedia karena dianggap tidak kompetitif atau kompatibel dengan lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya itu yang menambah ruwetnya penanggulangan masalah terorisme.

Jadi, jangan sampai penanggulangan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme hanya pada hilirnya saja sehingga mengalami jalan buntu atau bahkan kegagalan karena kita gagap dan tidak memiliki peta yang jelas serta tidak mau jujur dan malas berpikir.

Penulis adalah Intelektual Muda NU; 

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB)